“Bersabar untuk Tak Menanti”

‘Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti
Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran
Karena terkadang penantian Membuka pintu pintu syaithan’

“Apakah kesabaran itu ada batasnya?”, begitu tanya seorang Ukhti dalam sebuah forum diskusi.
“Bagi sahabat saya itu”, ia meneruskan,
“kesabaran berarti menunggu, dan terus menunggu. Padahal taaruf ini telah berjalan begitu lama. Sangat lama. Ikhwan itu selalu mengulur dan mengulur. Meminta waktu dan meminta waktu. Begitu terus.”

Nah, apa kesabaran ada batasnya? Ada 3 kategori sabar yg di tuntunkan Al Quran. Ketiganya adalah sabar dalam menghadapi musibah dan ujian Qs.2/155-156, sabar dalam ketaatan Qs.20/132, serta sabar untuk menjauhi kedurhakaan Qs.12/33
Maka seringkali KESABARAN SEJATI TAK SELALU BERARTI MENANTI.

Suatu saat, seorang lelaki melamar wanita yg hendak dinikahinya,
“lamaran ini kami terima”, begitu jawaban sang wali. “Tapi kami harap pernikahannya masih dua atau tiga tahun lagi.” Alangkah lama penantian baginya. Dan terasa akan lebih lama ketika sang pemuda menyadari bahwa hukum pernikahan baginya bukan lagi sunnah. Tapi wajib. Dia sudah begitu takut terjerumus dalam apa apa yang Allah benci. Di tangannya kini telah ada penghasilan meski belum bisa disebut memadai. Maka ia wajib menikah. Ia takut. Ia merasa tak sanggup untuk menanti. Dan ia memilih untuk memutuskan. Meski berat. Baginya, di situlah kesabaran. Bukan pada penantian yang membuka pintu pintu syaithan. Dengan menyebut asma Allah, sang pemuda menguatkan hati. Dan suaranya, meski agak serak, menggambarkan sebuah keteguhan hati. “Urusan saya sekarang ini adalah segera menikah. Belum soal dengan siapa. Kalau saya ditakdirkan Allah tak mendapatkan seorang calon mertua disini, pada saat ini, insyaallah saya akan mencarinya di tempat lain. Dimulai sejak perjalanan pulang nanti, in sya allah.”

Semua mata terbelalak. Semua telinga sedikit merona. Mulut mulut yang sedang minum dan mengudap hidangan harus dijaga agar tak tersedak. Untunglah kemudian dia bisa menjelaskan prinsipnya. Alhamdulillah semua memahaminya. Dia memilih sebuah kesabaran. Menjaga diri untuk selalu taat pada Allah dan menjauhi maksiat. Di tengahnya sebuah resiko menghujam dalam. Resiko tak jadi menikah dengan wanita yang telah dipilihnya. Dan ini diambil demi kemenangan yang lebih besar. Sabar. Di jalan cinta para pejuang, sabar adalah lautan tak bertepi. Tapi menunggu itu ada batasnya. Batas itu adalah garis yang memisahkan ketaatan kepada Allah dengan pintu pintu peluang mendurhakainya. Dan disinilah kita temui sebuah kesabaran sejati. Di jalan cinta para pejuang sabarlah untuk taat, untuk tak durhaka, untuk menghadapi ujian ujian yang jatuh menimpa antara keduanya.

Salim A Fillah di Jalan Cinta Para Pejuang

Tinggalkan komentar